PEMBERONTAKAN KAUM JAWARA BANTEN : Banten Mencekam, Di Awal Kemerdekaan

PEMBERONTAKAN KAUM JAWARA BANTEN : Banten Mencekam, Di Awal Kemerdekaan

PEMBERONTAKAN KAUM JAWARA BANTEN

Awal kemerdekaan adalah periode penuh guncangan. Huru-hara, konflik berdarah, perseteruan sengit, perampokan, dan suasana kacau, melanda berbagai daerah. Termasuk di Banten.

Di kalangan Jawara Banten, makna kemerdekaan adalah membersihkan segala unsur lama, yang berkaitan dengan kalangan penjajah. Mereka menganggap merdeka adalah berbuat sekehendak sendiri.

Kekerasan lalu menjadi horor mencekam. Penculikan, pembunuhan, perampokan, dan bahkan penyerbuan kampung kerap terjadi.  Sejarawan dari Australia, Robert Crib, menyebut era ini sebagai masa perbanditan sosial.

Fenomena ini melahirkan keresahan di kalangan pemerintah RI. Karena ada indikasi, kaum jawara mengarah pada tindak atau aksi pemberontakan, ingin merebut kekuasaan yang sah. Beberapa peristiwa yang mengarah kepada perebutan kekuasaan adalah, misalnya, peristiwa Cinangka, penyerangan markas kampetai dan aksi Dewan Rakyat.

Peristiwa Cinangka (kewedanaan Anyer), menjadi awal dari rangkaian kerusuhan dan huru-hara sosial berdarah di Banten, di awal kemerdekaan. Rakyat yang selama ini menderita, terjajah, kekurangan sandang dan pangan, lapar, menjadi beringas dan galak. Mereka, bersama para Jawara, kerap melakukan perlawanan dan pertempuran terbuka, baik dengan pihak keamanan ataupun pemerintah setempat.

Berikutnya adalah persitiwa penyerbuan markas kempetai (tentara Jepang). Rakyat, pemuda, dan kaum jawara, yang tergabung dalam Laskar Rakyat, melakukan penyerangan langsung, menurunkan bendera Dai Nippon, merampas gudang logistik, dan melucuti senjata yang tersisa.

Aksi ini sejatinya heroik. Menunjukkan keberanian dan mental perlawanan yang dahsyat, mengingat balatentara Jepang saat ini masih kuat. Gabungan massa rakyat dari Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Karamatwatu, Cilegon, dan Ciruas, bergerak bersama. Di bawah komando para Kyai dan Jawara Banten. Di kalangan ulama, terdapat nama KH. Akhmad Khatib, dan di kalangan jawara, diantaranya: Salim Nonong, Soelaiman Gunungsari dan Jaro Kamid.

KH Akhmad Khatib, adalah ulama kharismatik dan merupakan keturunan dari Sultan Banten. Ia di periode awal republik, menjadi simbol pemersatu Banten. Lalu kemudian, perlawanan menjadi liar, menjurus pada penggulingan kekuasaan, setelah muncul sosok baru, yaitu Ce Mamat.

Tokoh ini, mewakili figur Jawara yang pemberani, memiliki kedigdayaan, dan punya banyak pengikut. Sebelumnya, ia pernah dibuang Belanda, karena terlibat dalam pemberontakan PKI di Tahun 1926.

Ce Mamat segera mampu menghimpun kekuatan penuh, dan mengambil alih dewan rakyat. Dukungan kalangan Jawara kian memperkokoh kekuatannya. Hanya sayang, dalam perjalanan, keberadaan pasukan pro Ce Mamat malah melahirkan teror, menebar ketakutan, dan mengguncangkan tatanan sosial di Banten.

Konflik sosial terbuka di Banten ini, kian memuncak, karena juga faktor adanya konflik di Jakarta. Yakni perbedaan garis perjuangan antara kelompok Bung Karno dan Tan Malaka. (sumber: Jurnal Historia, Jurnal Penelitian Sejarah).