Tantangan dan Strategi Pengawasan Pemilu 2024

Tantangan dan Strategi Pengawasan Pemilu 2024

Oleh : Abdul Holid*

Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak akan dilaksanakan tahun 2024 mendatang. Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama masalah regulasi dalam penegakan hukum pemilu.

Pada pemilu serentak 2024 ini masih menggunakan dua regulasi terdahulu yaitu undang-undang no. 7 Tahun 2017 tentang pemilu, dan undang-undang no. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.

Setidaknya terdapat beberapa tantangan besar bagi Bawaslu dalam mengawasi pemilu 2024. Mengapa demikian, karena dalam undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yaitu pasal yang mengatur subjek hukum pelanggaran terkesan parsial dan cenderung sulit untuk diterapkan.

Seperti pasal 523 ayat (1) terkait politik uang dilakukan oleh relawan atau orang suruhan yang tidak terdaftar di KPU sebagai pelaksana atau tim kampanye, sehingga dalam penanganan pelanggaran tidak dapat dijerat dengan pasal tersebut.

Kemudian masalah SDM dalam tataran penyelenggara Ad hoc pada tingkat kecamatan, desa dan TPS.  Personil Ad hoc mesti memiliki integritas, pengalaman dan pengetahuan mengenai penyelenggaraan pemilu. Tidak kalah penting soal kejujuran dan netralitas.

Masalah selanjutnya adalah jumlah pengawas badan Ad hoc tingkat kecamatan, kelurahan /desa, dan TPS yang terbatas.

Sebagai contoh, Pengawasan Kelurahan/Desa (PKD) yang berjumlah satu orang, ia harus mengawasi satu desa. Padahal, dalam satu desa kurang lebih terdapat 30-40 TPS. Belum lagi dengan beban ketika terjadi irisan tahapan antara Pemilu dan Pilkada.

Terakhir perihal ekosistem dan budaya politik yang tidak menentu. Bagi penyelenggara pemilu khususnya bawaslu, kontestasi juga menjadi salah satu instrumen untuk mengukur kerawanan pemilu.

Mengapa demikian, karena Indikatornya adalah sejauh mana kesadaran politik dan demokrasi yang tumbuh dalam suatu daerah. Apakah sudah memenuhi kualitas dan menunjukan kedewasaan berpolitik? Atau cenderung masyarakat apatis terhadap pemilu itu sendiri? Hal ini menjadi tantangan tersendiri diluar pengawasan tahapan yang dilakukan bawaslu.

Sebagai contoh, politik identitas yang secara masif diartikulasikan oleh kelompok tertentu dalam struktur politik. Kemudian menimbulkan kegaduhan sosial dan mengganggu berjalannya tahapan. Apalagi disudutkan dengan identitas keagamaan, sehingga sensitivitas masyarakat akan semakin tinggi.

MASYARAKAT HARUS IKUT SERTA DALAM PENGAWASAN PEMILU SERENTAK 2024.

Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu serentak adalah strategi untuk menyelesaikan persoalan dan tantangan yang akan dihadapi. Sebab, meningkatkan pengawasan partisipatif adalah upaya serius dalam menjaga kualitas demokrasi dan pemilu.

Semisal melalui kader-kader sekolah pengawasan partisipatif yang tersebar di berbagai kecamatan, mereka terdiri dari anak-anak milenial idealis yang telah di didik bawaslu. Milenial ini menjadi harapan untuk menyebarkan pencerahan bagi masyarakat.

Sehingga masyarakat mau terlibat dalam pengawasan terhadap pemilu. Minimal mereka berani melaporkan atau memberi informasi kepada bawaslu jika terdapat dugaan pelanggaran.

Memaksimalkan pengawasan partisipatif merupakan solusi untuk menghadapi tantangan pengawasan pemilu 2024.

Meskipun situasi pengawas partisipatif menghadapi tantangan, seperti rendahnya kesadaran masyarakat (menganggap bukan tugas mereka, hanya tugas penyelenggara pemilu), kultur/budaya, keluarga (dibenturkan secara berlebihan pada pilihan antara peran publik dengan peran dalam rumah tangga) serta regulasi yang belum ramah pada partisipasi masyarakat.

Belum lagi faktor geografis serta pengetahuan tentang kepemiluan yang masih minim.

Adapun objek pengawas partisipatif meliputi pengawasan terhadap data pemilih,  pengawasan terhadap proses pencalonan, kampanye, kemudian fase masa tenang,  fase pemungutan-penghitungan hingga rekapitulasi suara. (*)

*Penulis merupakan Sekertaris Menara Peradaban Bangsa