Mengenal Ulama-Ulama Besar Kharismatik Di Tangerang

Mengenal Ulama-Ulama Besar Kharismatik Di Tangerang

Habieb Luthfie Bin Yahya, dari Pekalongan, pernah berucap bahwa tanah Banten adalah tanah para Wali Allah. Menjadi lokasi pijak para tokoh besar, alim ulama mumpuni, yang berjuang mensyiarkan Agama Islam. Termasuk di Tangerang Raya.

Bila kita lacak sejarah penyebaran syiar Islam di Banten dan Tangerang Raya, ungkapan Habieb Luthfie tak mengada-ada.

Saat ini Ummat di Tangerang mengagumi Almarhum Abuya Ucie, Abuya Dimyati (di Pasar Kemis), Syaikh Najihun di Mauk, Abuya Ardani di Cisoka, Abuya Usup di Cisoka, Syaikh Mubarok di Tigaraksa, Abuya Astari Cakung (Kresek), Abuya Amien di Koper Kresek (Kakek KH Ma’ruf Amien, Wapres RI). Padahal selain nama-nama kharismatik itu, masih banyak tokoh lain yang terkategori Ulama Besar di Tangerang Raya.

Mereka para Aulia, kekasih Allah, yang selama hidup terbukti dalam ketinggian ilmu, kebaikan akhlak, kebesaran dakwah, banyaknya murid, serta dicintai oleh Jamaah. Mari kita mengenal riwayat singkat para Ulama di Tangerang Raya, dengan paparan berikut ini:

Abuya Uci Turtutsi (Cilongok, Pasar Kemis).

Kesedihan mendalam merebak di Tangerang dan Banten, saat kabar wafatnya KH. Uci Turtutsi wafat, di 6 April 2021. Kyai Kharismatik yang terkenal dengan sebutan Abuya Uci ini, adalah pengasuh pondok pesantren Al Istiqlaliyah, di Pasar Kemis, Tangerang. Puluhan ribu Jemaah, selalu takzim mengikuti pengajian beliau. Bahkan luberan jamaah akan kian meledak, jika dilakukan Haul Syaikh Abdul Qodir Jailani, saban tahun.

Jika dilacak sanad (silisilah) Abuya Uci, tersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga dikenal sebagai sahabat dekat Presiden RI ke-4, yaitu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Juga sangat erat dengan Habib Luthfie Bin Yahya, Ketua Umum Jatman (Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al Mutabarah an Nahdliyin).

Sebagai Ulama Besar yang memiliki jamaah ratusan ribu hingga ke dunia internasional, Abuya Uci dikenal memiliki banyak karomah (keistimewaan luar biasa). Selain tentu saja, berbagai tuturan hikmah, nasihat keilmuan, tausiyah, dan pesan-pesan moral, menjadi panutan Umat hingga saat ini. Semoga Allah memberikan tempat paling mulia untuk Almarhum. Aamiin.

Abuya Ardani (Panggang, Cisoka) 

KH. Ardani, memperoleh gelar Asadul Rubbat yang artinya harimau para pelajar. Gelar ini diberikan oleh Gurunya, Mama Ajengan Syatibi atau Mama Gentur (Ulama besar di Kampung Gentur, Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat). Penyematan ini bersumber dari kemampuan Abuya Ardani dalam kecepatannya menyerap ilmu, kealiman, ketegasan, dan charisma beliau.

Lahir di Rajeg, pada tahun 1894, Kyai Ardani sejak kecil merupakan anak yatim. Gurunya semasa kecil adalah Kyai Daim, Kyai Salmin, dan Kyai Musa. Di tahap awal inilah beliau memperdalam dasar-dasar ke-Islam-an.

Rihlah ilmiah yang beliau lakukan (atau perjalanan menuntut ilmu), berlanjut ke beberapa ulama besar di jazirah Banten dan Sunda. Ia pernah menjadi murid Mama Gentur, Mama Sempur, dan juga Abuya Shidiq, Pandeglang. Sebuah literature menyebut, Abuya Ardani adalah salah satu dari Sembilan Santri Utama di tanah Banten (segenarasi dengan Abuya Astari Cakung, Syaikh Nawawi Mandaya, penulis Kitab Awamil Mandaya, Jaro Karis Baduy, Syeikh Umar Rancalang (Kragilan, Serang), dan Syaih Sadeli Bogeg. Kesembilan orang santri itu kemudian hari menjadi Kyai Besar di Jaziran Banten dan Tangerang Raya.

 

Syaikh Najihun, Mauk

Beliau adalah menantu dari Syaikh Nawawi Al Bantani, sekaligus murid langsung dari Syaikh Nawawi. Beberapa literatur menyebut, Syaikh Najihun adalah juru tulis dari Syaikh Nawawi, bahkan juga menulis kitab terkenal, yakni Qotrul Ghoits (kitab tentang ilmu tauhid).

Isteri beliau, bernama Nyai Salma Binti Rukayah Binti Syaikh Nawawi Al Bantani. Menurut beberapa keterangan, beliau menjadi guru dari ulama-ulama besar di Banten dan Tangerang Raya. Seperti: KH Muhammad Dahlan bin KH. Arjai (Tanjakan, Mauk), dan juga guru dari Kyai Arsyad Pasar Kemis (Guru dari KH Romli dan KH Muhtadi, orang tua dari Abuya Uci). Dengan demikian sanad keilmuan Abuya Uci tersambung langsung ke Syaikh Najihun.

  

Abuya Usup, Caringin Cisoka

Pakar Kitab Fathul Muin, guru dari Abuya Uci, serta menjadi kiblat untuk seluruh santri di Banten, Jawa, Madura, hingga pelosok Nusantara, adalah Abuya Usup, Caringin, Cisoka.

Hingga saat ini, nama Abuya Usup Caringin Cisoka masih harum semerbak. Terutama untuk para santri, dan pembelajar Kitab Fathul Muin. Kitab ini adalah rujukan hukum Islam, yang sangat lengkap, dari berbagai aspek. Mereka yang memegang ijazah Fathul Muin dari Abuya Usup, bisa dikatakan layak untuk menjadi Kyai di tempatnya masing-masing.

Salah seorang Santri, bernama Agus Jamaludin, saat ini menjadi Ketua PCNU Kecamatan Balaraja, menuturkan charisma Abuya Usup luar biasa. Di saat Almarhum mengampu pengajian, maka suasana menjadi hening, tak ada satupun jamaah yang berani bersuara. Abuya Usup juga dikenal tawadhlu. Beliau rutin melaksanakan Puasa Daud, yakni puasa selang seling, sehari puasa dan sehari tidak.

 

Syaikh Astari Cakung, Kresek

Syekh Astari adalah pendiri pondok pesantren di Cakung pada tahun 1920. Beliau bernama lengkap Syekh Astari bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin bin Nyi Hadisah binti Ki Alim bin Ki Bulus (Abdul Gani) bin Syekh Hasan Bashri bin Ki Mahmud bin Raden Saleh bin Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin (Kanjeng Ratu Banten Surosowan) bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.

Syekh Astari merupakan cucu dari Syekh Ciliwulung, ulama besar Banten melalui ibu dari Syekh Hasan Bashri yaitu Nyi Fatimah binti Syekh Ciliwulung.

Ayahnya, Maulana Ishaq dan ibunya, Nyi Ratu Nasiah adalah pedagang dan guru mengaji anak-anak di kampungnya. Syekh Astari dilahirkan di Kampung Cakung Kedung, Desa Kandawati, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Banten. Tidak ada yang mengetahui tahun berapa Syekh Astari dilahirkan. Tetapi ketika wafat pada tahun 1987, ia disebut-sebut berusia 99 tahun.

Syekh Astari belajar ilmu agama dari ayahnya dan pamannya, Ki Muhammad Zen yang juga seorang ulama. Ketika beranjak remaja, Syekh Astari diserahkan orang tuanya untuk belajar kepada Syekh Jaliman di Bunar, Pematang.

Saat menuntut ilmu di Pesantren Bunar, Syekh Astari satu kamar dengan delapan orang sahabat yang kemudian sembilan orang ini menjadi ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi Mandaya, Syekh Umar Rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, Syekh Jamhari, Syekh Mustaya Binuang, Ki Kharis Cisimut, dan Syekh Astari sendiri.