Penulis : Suryadi*
Terdengar sok filosofis. Kemajuan teknologi tak sebanding lurus dengan keluhuran budi beserta moral manusia pada zaman sekarang. Zaman di mana manusia mencapai puncak popularitasnya.
Banyak pencitraan dan drama-drama yang kurang mendewasakan. Gaya hidup konsumtif, hedonis. Maunya dibuat mudah, serba praktis. Terkesan malas, maunya instan langsung berhasil.
Belum lagi dalam hal beretika, menghina dianggap bercanda dan hal-hal baik dinilai iseng-iseng saja. Telah berubah, semua berubah dan kita mengikut, begitulah gambaran sekarang ini.
Barangkali–sesekali perlu merefleksikan pemikiran dan etika kita kepada filsuf terdahulu.
Filsuf secara umum adalah sebutan bagi orang yang mencintai akan pengetahuan. Bisa juga disebut sebagai orang yang sedang mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Asal katanya dari kata Philos dan Sophia ( Philosophia ) atau yang biasa kita kenal Filsafat.
Menurut Rocky Gerung, Filsafat memang diartikan cinta kebijaksanaan, tetapi yang dimaksud kebijaksanaan dalam kata “ Philosophia ” adalah mampu bernalar dengan baik, suatu metode bernalar dengan baik, metode berpikir.
Lain tokoh intelektual, Dr. Fahruddin Faiz, menurutnya Filsafat pada hakikatnya adalah disiplin kajian yang mengajarkan kepada kita cara berpikir yang benar.
“Budi adalah tahu”, kata Socrates. Socrates merupakan tokoh filsafat klasik Yunani kuno setelah filosofi Sofisme yang lebih dahulu ada pada zaman itu.
Menurutnya, Orang yang berpengetahuan dengan dirinya sendiri akan berbudi baik. Dari mengetahui beserta keinsafan moral tidak boleh timbullah budi.
Misalnya orang yang mengetahui hukum, harus bertindak dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Begitulah sedikitnya ajaran etika Socrates yang bersifat intelektual dan rasional.
Tentu saja ajaran etika Socrates ini makin kesini makin kalah pengaruhnya dengan ajaran Sofisme. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa filosofi sofisme lebih dulu ada daripada filosofi klasik Yunani kuno yang diawali oleh Socrates.
Hari ini kita bisa lihat di mana orang-orang berpengetahuan, namun kurang diindahkan dengan etika yang baik. Pejabat yang korupsi, penegak hukum mudah disuap, orang-orang di lembaga eksekutif dan legislatif yang sewenang-wenang dalam membuat undang-undang.
Belum lagi, tenaga pendidikan yang melakukan kejahatan asusila. Semua itu bertolak belakang dengan pandangan Socrates tentang “Budi ialah tahu”. Jangan-jangan ada yang salah dengan pengetahuannya?
Perihal salah dan benar, di zaman sekarang pandangan sofisme lebih dominan. Benar dan salah hari ini bersifat skeptis. Lebih mengedepankan retorika sebagai alat pembelaan kebenaran yang dikemukakan, tiap pendirian dibenarkan dengan menarik perhatian banyak orang. makin banyak orang yang mengakuinya, boleh jadi itu benar.
Bukan meyakinkan orang tujuannya, melainkan menundukkan orang dengan daya kata.
Maka tak heran, istilah Dungu kencang diperbincangkan sekarang-sekarang ini. Karena memang kebanyakan kemampuan manusia sekarang mentok di retorika saja. Ketika diuji dengan logika, nihil.
Mempelajari filsafat, memahami pemikiran para filsuf tentu tidak cukup berhenti pada seorang filsuf itu saja.
Dalam buku novel filsafat Dunia Shopie dijelaskan bahwa filsafat itu seperti permainan puzzle; terbagi dari beberapa bagian yang saling menyempurnakan. Ilmu yang bersifat universal, lain-lain dengan sekarang; yang terfokus pada bidang per bidang kajiannya.
Intinya, pengetahuan yang seharusnya membawa kita menjadi manusia yang berbudi luhur; makin berpengetahuan, makin baik sikap dan cara berpikirnya.
Sudahkah kita mendayagunakan kelima Indra dan akal kita dengan sebaik-baiknya? Kalau iya, pastilah kita menjadi makhluk sempurna yang Tuhan ciptakan di antar makhluk lainnya. (*)
* Penulis merupakan Kabid Media Data dan Informasi Himatangbar.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda