Penulis: Suryadi*
Ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemangku kekuasaan daerah maupun negara, diekspresikan melalui kritik. Beragam cara, berbagai aksi, sah-sah saja. Selama konteks kritik tertuju pada jabatan yang diemban bukan personal pribadinya.
Mengkritik pejabat bukan berarti menghina. sekalipun menghina, yang dihina adalah jabatan dan kebijakan yang dibuatnya, bukan sebagai pribadi dirinya.
Seorang yang menjadi pejabat dan selama ia menjabat, kebanyakan dari kita menganggap ia (pejabat) secara personal dan jabatannya menjadi satu bagian dari pada dirinya.
Meski demikian, perlu diketahui bahwa dengan statusnya sebagai pejabat tidak akan lepas dari kritik, sudah konsekuensi. Segala perkataan dan gestur menjadi sorotan, terlebih lagi kebijakan yang dibuat.
Menurut Habermas (1989:4), dalam hukum Roma Kuno dimana kategori mengenai wilayah publik dan privat sudah dipisahkan dengan tegas. Ruang publik yang dipahami sebagai res publica sudah terdefinisi dengan baik; res (urusan) dan publica (umum) memberi kerangka yang jelas mengenai istilah publik yang digunakan saat ini. Publik mulai diartikan sebagai urusan yang menyangkut kepentingan bersama, hajat hidup bersama, atau hidup dalam hak yang sama.
Pada ranah publik pejabat dianggap sebagai res publica, artinya pejabat dipandang sebagai konsumsi publik. Melekat jabatannya di ranah tersebut. Semua orang mengenalnya sebagai pejabat bukan sebagai dirinya pribadi. Lain hal dengan res privata, dimana ia dianggap sebagai pribadinya sendiri. Kapan ia dianggap sebagai pribadi sendiri? tentu bukan di ruang publik.
Ketidaktahuan terhadap hal semacam inilah yang menjadi delik permasalahan di publik akhir-akhir ini, akibat keterbatasan kita akan pengetahuan.
Pejabat lazim dikritik, justru berbahaya seorang pejabat anti kritik tapi manut disetir. Tidak heran kerap kebijakan yang diambil dinilai menguntungkan sebagian golongan bukan rakyat kebanyakan.
Foto Ilustrasi: Kritik dibungkam (sumber: kompasiana.com)
Rakyat hanya dijadikan kambing hitam dalam delik permasalahan publik; mengatasnamakan kepentingan rakyat, keberpihakan kepada rakyat didalam kondisi diskusi ruang publik para pejabat. Faktanya? Secuil bukti, segelintir keuntungan pribadi.
Pada akhirnya rakyat jenuh dengan tontonan diskusi para pejabat yang katanya pro rakyat. Realitanya minim perubahan kearah yang lebih baik, malah sebaliknya, timbul permasalahan dan penolakan.
Kritik merupakan bentuk resistensi rakyat terhadap pejabat yang tamak. Semua orang berhak mengkritik, hanya saja memiliki bobot dan power yang berbeda.
Kritik dari insan akademis dan politisi jujur lebih nyaring didengar penguasa dibanding kritik dari tukang galon, sekalipun teriak.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita berharap kepada seorang insan akademis dan politisi yang jujur dan berani. Supaya mengingatkan terhadap penguasa yang sikap dan gayanya father knows best, merasa tahu apa yang terbaik untuk rakyat. Agar mendengar aspirasi masyarakat dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Sasaran kritik adalah kebijakan yang direncanakan secara kurang matang, bahkan tergesa-gesa. Padahal setiap kebijakan yang dibuat menyangkut keberlangsungan hidup banyak orang.
Misalnya dalam merumuskan UU Cipta kerja, tidak memberi ruang partisipasi kepada publik secara maksimal. Sehingga menimbulkan penolakan. Belum lagi proyek-proyek besar seperti kereta cepat yang direncanakan dengan terburu-buru sehingga salah perhitungan, terancam terjerat hutang. Kemudian proyek LRT salah desain. Entah bagaimana dengan proyek IKN.
Maka dari itu, pejabat maupun penguasa sebaiknya menempatkan kritik sebagai salah satu instrumen penting dalam menyempurnakan kebijakan yang akan dibuat.
Hemat penulis, pejabat mesti melihat dan mendengar dengan jeli, substansi pesan kritik yang dinarasikan. Bukan malah menjegalnya dengan hukum atas dasar pencemaran nama baik.
Karena kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi yang perlu dirawat, bukan dijegal. (*)
*Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banten, Aktif di Himpunan Mahasiswa Tangerang Barat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda