Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq*
Setiap penganut agama dapat dipastikan meyakini atas kebenaran ajaran agamanya. Seperti halnya umat Islam meyakini kebenaran agamanya. Begitu juga Umat Kristian. Pun penganut agama Yahudi, dan juga penganut agama lain.
Bahkan pada sebagian penganutnya, saking meyakini kebenaran ajaran agamanya. Kadang disertai penyesatan atas ajaran agama lain. Seperti halnya dalam Islam. Dalil innaddina indallahil islam misalnya.
Menakar sebuah kebenaran, biasanya menggunakan rasio dan empiris. Karenanya, dapat dinyatakan benar kalau logis, masuk akal, dan ada buktinya. Kebenaran yang didapatkan lewat rasio dan empiris inilah yang dinamakan dengan ilmu.
Ada kebenaran yang cukup menggunakan empiris. Contohnya, untuk membuktikan bahwa garam itu rasanya asin, maka cukup dengan lidah. Menyimpulkan bahwa garam rasanya asin tidak perlu dengan rasio, apalagi bertanya pada agama.
Ada juga kebenaran yang bisa didapatkan cukup dengan rasio. Tanpa harus empiris. Seperti adanya ganjaran dan hukuman di alam kubur. Rasio bisa menunjukkan lewat keterkaitan antara kebaikan di dunia akan dibalas dengan ganjaran. Pun sebaliknya.
Artinya, keberadaan alam kubur itu logis, karena dia menjadi konsekuensi logis dari konsepsi keadilan Tuhan. Karena bila tiada balasan setimpal di alam kubur bagi perbuatan manusia ketika hidup di dunia, maka keadilan Tuhan itu menjadi tiada.
Banyak ajaran agama yang bisa dirasionalkan. Namun tidak sedikit juga cukup dibenarkan dengan iman. Karenanya, iman menjadi salah satu alat takar kebenaran. Jadi, alat takar kebenaran itu meliputi empiris, rasio, dan iman.
Ajaran agama dianggap benar dengan menggunakan iman sebagai alat takarnya, bisa jadi tidak empiris, dan tidak juga rasional. Karena itu, bila ajaran agama tidak rasional lantas berarti salah? Tentu tidak.
Sekali lagi, dalam menakar kebenaran itu bukan hanya dengan empiris dan rasio. Tetapi juga iman. Benar menurut iman memang tidak harus benar menurut rasio, maupun menurut empiris. Seperti adanya surga dan neraka, serta kondisi didalamnya.
Bahwa adanya surga dan neraka itu adalah keniscayaan sebagai media balasan dari Tuhan atas perbuatan baik dan buruk manusia di dunia, itu adalah kebenaran secara rasio. Pastinya tidak empiris. Tapi bagaimana kondisi dan situasi di sana, itu urusan iman.
Bilapun ada banyak ajaran agama yang bisa dirasionalkan, setiap agama menyisakan perkara yang tidak bisa dijelaskan dengan logis. Itulah menariknya agama. Agar penganutnya "merasa penasaran" dengan ajaran agama yang dianutnya.
Apabila semua ajaran agama rasional, maka agama tidak lagi menarik. Agama tidak akan memiliki daya pikat lagi. Jika belakangan ini ada trend orang-orang menjadi atheis, itu antara lain karena bagi mereka semua harus serba rasional.
Padahal, secerdas apapun kita, tidak akan tahu bagaimana bentuk ganjaran dan siksaan didalam kubur. Maka dari itu tidak pernah ada orang yang melakukan presentasi atas hasil penelitiannya di alam kubur. Apalagi di surga atau neraka.
Perkara yang disisakan oleh agama sebagai bagian dari misterinya tidak dapat didekati secara rasio dan empiris, inilah yang menjadi daya pikat agama. Hampir setiap agama memiliki bagian ini. Dalam agama, segmen ini dikenal dengan istilah israiliyat .
Cerita tentang Nabi Ibrahim a.s yang bermimpi bahwa Ia disuruh Allah Swt untuk menyembelih anaknya, lalu ketika itu dilakukan tiba-tiba anaknya diganti oleh Allah Swt dengan seekor domba, menjadi salah satu ajaran agama yang masuk kategori ini.
Apakah cerita itu dapat dibuktikan secara empiris? Bila pun bisa ditelusuri sejarahnya, namun kesaksian orang atas peristiwa itu sangat lemah. Selain hanya Ibrahim a.s dan Ismail a.s yang tahu, tiada saksi lain yang bisa menguatkan validitasnya.
Apakah cerita itu bisa dibuktikan secara rasional? Adalah tidak logis dan tidak masuk akal bila hanya berbekal mimpi belaka, seorang ayah tega menyembelih anaknya. Bila pun itu mungkin terjadi, dimana logikanya secara tiba-tiba manusia bisa berubah dan berganti menjadi domba?
Karenanya, keyakinan atas ceritanya benar-benar bisa kita dapatkan dengan cara iman. Dan iman itu kita dapatkan lewat kitab suci Al-Qur'an yang kita kenal sekarang, yang menurut pengakuan Rasulullah Saw, itu merupakan firman Tuhan.
Bila hari ini di berbagai tempat umat Islam merayakan iduladha yang juga dilakukan penyembelihan hewan kurban, dan itu merujuk pada peristiwa Ibrahim a.s menyembelih Ismail a.s, adalah karena iman. Bukan karena empiris dan atau rasio.
Jadi, kurban yang begitu sakral yang selama ini kita lakukan berawal dari sebuah mimpi? Emang iya. Lho , bukankah mimpi hanyalah kembang tidur? Ya iyalah, itu bagi kita yang masuk kaum rebahan. Kalau ini kan mimpi seorang nabi. Utusan Tuhan.
Lalu, apa istimewanya nabi? Nah, masalah ini kita kupas nanti setelah penulis selesai nyate. Selamat merayakan Iduladha. Kalau kambingnya selesai disembelih, bagian untuk penulis gantungkan saja pada pegangan kunci pintu rumah ya! (*)
*Penulis adalah santri kampung
Komentar
Tuliskan Komentar Anda