Oleh:
Ocit Abdurrosyid Siddiq*
Tahun depan
kita akan Pemilu, memilih calon pemimpin dan wakil rakyat dalam berbagai
tingkatan. Pemilu untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden, bersamaan
dengan memilih calon anggota DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan
Kota. Dilaksanakan secara bersamaan pada tanggal 14 Februari 2024.
Disusul sembilan bulan kemudian, kita akan
Pemilihan Kepala Daerah untuk memilih calon Gubernur, Bupati, serta Walikota
dan masing-masing wakilnya. Pemungutan suara pemilihan calon Kepala Daerah juga
dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pada tanggal 27 November 2024.
Jabatan strategis sebagai pemimpin dan wakil rakyat
yang dipilih secara demokratis ini, banyak diperebutkan orang. Terbukti dengan
banyaknya warga mendaftar, khususnya calon wakil rakyat. Dari 100% kursi yang
disediakan terdapat lebih dari 1.000% yang mendaftar. Dari 50 kursi yang
tersedia ada lebih dari 500 pendaftar.
Mereka dipilih secara demokratis, maksudnya setiap
orang mempunyai hak pilih, setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu
kali. Tak pandang bulu, apakah sebagai pejabat negara atau hamba sahaya. Bobot
suaranya sama, satu suara.
Peraih suara terbanyak dinyatakan sebagai yang
terpilih. Jadi, dalam demokrasi itu bukan semata perkara kompetensi,
kapabilitas, dan integritas saja. Tetapi juga dukungan rakyat.
Wujud demokrasi adalah Pemilu. Dalam Pemilu ada
kontestasi, kompetisi, dan persaingan. Bersaing menjadi yang terbanyak dipilih
oleh pemilik suara. Berbagai cara dilakukan untuk meraih simpati mereka. Mulai
dari cara yang diatur dan boleh dilakukan menurut undang-undang, hingga
cara-cara yang dilarang.
Disitulah kemungkinan berpotensi muncul pelanggaran
dan kecurangan. Misalnya penggunaan politik uang, politik SARA, penyebaran
kabar bohong hingga ujaran kebencian. Cara-cara semacam itu dilakukan untuk
meraih dukungan dan sekaligus melarang dukungan.
Sebelum para peserta Pemilu dipilih, mereka
diberikan kesempatan untuk berkampanye. Kampanye merupakan kegiatan yang
digunakan oleh peserta Pemilu guna menggalang dukungan dari rakyat. Sayangnya,
kegiatan ini kerap muncul pelanggaran dan kecurangan.
Kampanye sejatinya bisa dijadikan media, untuk
menyampaikan keunggulan calon yang didukung. Meskipun terkadang disertai dengan
perilaku menyerang dengan mengumbar aib calon lain.
Perilaku kampanye seperti ini, sebenarnya
menunjukkan kekurang-percayaan diri atas kompetensi, kemampuan, kapasitas,
kapabilitas, dan integritas calon yang didukung. Karenanya perlu ditambah
dengan narasi menjatuhkan martabat calon lain.
Salah satu perkara klasik yang masuk dalam kategori ini, adalah mengangkat isu komunis. Penulis sebut klasik karena "hantu komunis" ini datangnya berulang dan musiman. Disebut musiman karena rutin hanya keluar pada saat bulan September -merujuk pada Tragedi G30S/PKI- dan menjelang perhelatan pesta demokrasi.
G30S/PKI dalam catatan sejarah bangsa Indonesia
dianggap begitu kelam, menjadi seksi dijadikan sebagai alat atau cara untuk
jualan politik dalam rangka menggalang dukungan. Karenanya, isu komunis menjadi
strategis meraih simpati.
Komunis yang dianggap atheis -padahal sejatinya
anggapan tersebut tidak seluruhnya benar, karena ada banyak pengikut dan
penganut komunis yang religius- pastinya head to head dengan
kalangan agamis. Akhirnya, dua kutub yang berada dalam spketrum berlawanan ini
berhadapan. Agamis lawan komunis.
Dalam tataran konsepsi, berhadapannya dua kubu ini
memang terjadi. Tapi tidak dalam bukti. Mengapa? Karena seluruh elemen masyarat
Indonesia telah sepakat dan tunduk pada konstitusi; bahwa komunis itu adalah
paham terlarang di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, kadar seseorang untuk
menunjukkan sikap anti terhadap komunis itu berbeda-beda. Ada yang anti,
antinya pakai banget, dan ada juga yang agak toleran.
Sikap semacam ini tidak berbeda dengan kadar
kesolehan dalam beragama, ada yang mengaku Islam dan rajin solat, ada yang plus
solat sunah, ada yang belang-betong, bahkan ada yang hanya tercantum dalam
Kartu Tanda Penduduk tanpa pernah berwudhu.
Tapi semuanya sama, tunduk pada konstitusi. Komunis
itu terlarang di Indonesia. Karenanya, tidak ada tempat bagi komunis di negeri
ini. Sudah menjadi komitmen bersama.
Karena komunis telah menjadi musuh bersama,
kemudian mengidentikkan lawan politik sebagai bagian darinya adalah cara yang
tepat dilakukan oleh siapapun. Walau kenyataannya tidak benar. Karena faktanya
tidak benar, maka termasuk fitnah.
Karena tidak suka pada hal apapun yang berbau
komunis, maka perkara yang sejatinya tidak beraroma komunis, direkayasa seolah
bau sangit PKI. N terdengar seolah I, dan "dudu" dipaksa untuk
terdengar seolah menjadi "butuh", adalah dua contoh diantaranya.
Kita mesti waspada terhadap kebangkitan dan
munculnya komunis layaknya hantu, penulis juga sepakat. Tapi jangan karena rasa
takut yang berlebihan, lantas membuat kita phobia atasnya. Kemudian
diekspresikan dalam bentuk fitnah berupa tuduhan pada lawan politik tertentu.
Padahal perilaku semacam itu merupakan bagian dari sikap hantu tersebut. Hantu
yang kehadirannya rutin, berulang, dan terjadwal.
Untuk mengurangi rasa khawatir atas kemunculan
hantu itu, cobalah sekali-kali datang ke markas Tentara Nasional Indonesia.
Seperti penulis pernah lakukan ketika berkunjung ke markas Grup 1 Kopassus yang
berlokasi di Taktakan Serang Banten. Penulis mendapatkan suasana nasionalisme
yang begitu tinggi dalam menjaga NKRI disana.
Para tentara yang begitu heroik bertekad menjaga
NKRI dengan berlandaskan Pancasila, kekuatan yang sangat besar bila hanya
dihadapkan pada segelintir orang yang berniat mau mengubah dasar negara
Pancasila menjadi ideologi komunis, juga ideologi dalam bentuk lain. Apakah ada
ideologi lain selain komunis yang membahayakan bagi negara? Ya ada.
Bila komunis kerap ditempatkan pada posisi gerakan ekstrim kiri sebab dianggap identik dengan atheis, maka sebaliknya ekstrim itu bukan hanya ada di kiri, tetapi juga dikanan. Gerakan ekstrim kanan itu dikonotasikan kepada kelompok umat beragama yang memaknai ajaran agama secara puritan yang melahirkan radikalisme.
Segelintir umat beragama yang puritan dan karenanya
mewujud dalam perilaku radikalisme ini, bukan hanya terdapat pada satu agama
tertentu saja. Ada sekte Budha di Myanmar, Hindu Shiv Sena di India, Kristen
Radikal di Australia, atau seperti kelompok Ku Klux Klan di Amerika. Kalau
dalam Islam adakah? Uwatu eta oge!
Dalam kacamata Pancasila, sejatinya yang berbahaya
bagi keutuhan NKRI bukan hanya komunisme. Tapi juga segelintir orang beragama
yang memiliki cara pandang demikian. Memaksakan hasil tafsirnya atas agama
untuk diterapkan bagi seluruh rakyat Indonesia yang beragam agama, budaya,
suku, bahasa, dan beragam iman serta kepercayaan.
Walau kehadiran hantu komunis menjelang Pemilu bisa
menyita energi dan bahkan bisa berpotensi menjadi fitnah, isu keberadaannya
diperlukan bagi kita untuk meningkatkan kewaspadaan akan kemunculan dan
kebangkitannya lagi. Tinggal kitanya saja dalam cara meresponnya. Apakah
termasuk pada kelompok phobi, atau kelompok yang berani satu barisan bersama
TNI.
Mari wujudkan pesta demokrasi dengan penuh
keceriaan, kegembiraan, dan kebahagiaan, layaknya sebuah pesta. Mari kita
berkompetisi dengan niat yang baik, cara yang baik, untuk tujuan yang baik.
Seperti itulah makna dari kompetisi dalam Islam yang dikenal dengan
jargon fastabiqul khoirot. Berkompetisi dalam kebaikan.
Dan itu bisa kita lakukan dengan cara mengurangi
dan menghentikan penyebaran kabar bohong, dan fitnah. Biasakan untuk menyaring
sebelum mensharing, mengkaji sebelum membagi, mengupas sebelum mencopas. Bila
fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, maka bisa jadi menyebar hoax lebih
sadis dari mutilasi. Wallahualam. (*)
*Penulis adalah anggota Dewan Pakar ICMI Orda Kabupaten Tangerang
Komentar
Tuliskan Komentar Anda