Mengapa hasil survey bisa akurat, mendekati hasil seperti penghitungan versi KPU?
Padahal, data yang diambil hanya 1.200an data, dari 200an juta pemillih di Indonesia.
Bagamaimana pola kerja yang benar, hingga ada survey penuh presisi.
TANGERANG, TangerangNetwork.com – Meski begitu, tak terhitung juga banyaknya survey abal-abal. Hasilnya bukan hanya melenceng dan jauh dari fakta, melainkan juga berbungkus penipuan, manipulasi, serta penyesatan informasil. Survey jenis ini adalah mutlak pesanan para politisi atau bandar. Demi melakukan kampanye busuk, menjatuhkan lawan, dan meracuni opini publik.
Survey palsu, biasanya dilakukan lembaga yang tak jelas. Tokoh dan pemimpinnya juga asing. Serta tetiba merilis data kontroversial.
Lalu bagaimana survey yang benar?
Kata kuncinya adalah: metode pengambilan sampling (cara menarik sumber data, dari objek yang akan diteliti). Sampling adalah representasi (mewakili) populasi (kelompok besar) yang akan diriset. Dari sample ini, akan hadir calon responden (pihak yang akan diwawancara langsung).
Misalnya, dari 200an juta penduduk Indonesia, tak perlu ditanya seluruhnya satu per satu, untuk mengetahui kecenderungan Pemilih di Pilpres 2024. Atau misalnya, untuk mengukur popularitas (keterkenalan) dan elektabilitas (kecenderungan dipilih) untuk Sosok Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, cukup mewawancara 1.200an orang (dari seluruh warga negara Indonesia).
Jika sample dan respondennya akurat, maka hasilnya akan presisi, tajam, medekati kenyataan.
Masalahnya, untuk menggelar survey, butuh berbagai faktor penunjang. Diantaranya: kekuatan pendanaan, jaringan relawan surveyor, sitem pengolahan data atau tabulasi, kontrol kualitas data, system IT, pengalaman kerja, kecerdasan pemimpin survey, dan kejujuran.
Hingga itu, di Indonesia, hanya sedikit lembaga survey atau Polster yang benar-benar bisa dipercaya. Mereka adalah lembaga yang kuat secara keuangan, sering terbukti benar, dipimpin sosok yang mumpuni, punya jaringan kerja luas, serta mampu mengejar narasumber dari Sabang sampai Merauke.
Kegiatan survey lapangan biasanya dilakukan hanya dalam satu atau dua minggu. Jika lembaganya abal-abal, tak mungkin mereka bekerja total, menyebar para peneliti hingga ujung nusantara. Maka dibuatlah data asal-asalan.
Beda dengan, misalnya, LSI, SMRC, Polmark, atau beberapa nama lain. Mereka ini sudah mapan. Relawan atau tenaga pendukung mereka tersebar di semua provinisi bahkan kabupaten. Hingga itu, saat menggelar survey, mereka bisa benar-benar mampu menggali data se-Indonesia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda